Join Us !!

Headline サイバー

Label サイバー

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi akan terasa pada inflasi bulan Juli 2013.
"Semua dampak terasa di bulan Juli, artinya 60-70 persen dampak kenaikan harga BBM terjadi di Juli, 25 persen di Juni dan lima persen di Agustus," ujarnya di Jakarta, Senin (24/6).


Sasmito mengatakan, dampak kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap laju inflasi diperkirakan terjadi selama tiga atau empat bulan, sama seperti prediksi dari pemerintah dan Bank Indonesia.
Untuk Juni, ia memperkirakan laju inflasi mulai meningkat, meskipun tidak terlalu tinggi karena kenaikan harga BBM baru terjadi pada minggu ketiga.

"Masih aman. Tapi kalau tidak ada kenaikan harga BBM, tentunya lebih kecil. Mungkin hanya tarif angkutan yang (harganya) mulai naik," kata Sasmito.
BPS mencatat laju inflasi pada Juni 2012 mencapai 0,62 persen, dan pada Juli 2012 terjadi laju inflasi sebesar 0,7 persen karena tingginya harga bahan makanan.
Sebelumnya, Bank Indonesia memperkirakan laju inflasi pada tahun ini bisa melonjak hingga 7,9 persen, akibat dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pekan lalu.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluyo mengatakan dampak langsung dan tidak langsung dari kenaikan harga BBM bersubsidi terhadap inflasi sebesar 2,54 persen.

"Jika upaya penanganan inflasi tidak maksimal, inflasi akhir tahun bisa sampai 7,6 persen, bahkan jika penanganannya gagal inflasi bisa mencapai 7,9 persen. Namun jika dampaknya bisa dikendalikan bisa turun ke 7,2 persen," katanya.
Pemerintah dalam APBN-Perubahan 2013 memberikan asumsi laju inflasi (yoy) sebesar 7,2 persen atau lebih tinggi dari yang tercantum dalam APBN sebesar 4,9 persen.
Saat ini, laju inflasi tahun kalender Januari-Mei 2013 tercatat mencapai 2,3 persen dan inflasi secara tahunan (yoy) 5,47 persen. Sedangkan inflasi komponen inti Mei 0,06 persen dan inflasi (yoy) 3,99 persen.

Pasar rumah sederhana bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah diprediksi kian melemah sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak. Untuk itu, pengembang perumahan rakyat berencana mengerem pasokan rumah sederhana.
Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo, di Jakarta, Minggu (23/6/2013), kenaikan harga BBM dipastikan melemahkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah untuk bisa mengakses rumah layak huni. Penurunan pasar rumah sederhana bersubsidi diperkirakan mencapai 10 persen.

Tahun 2013, target pembangunan rumah oleh Apersi sebanyak 100.000 unit rumah, sejumlah 90.000 unit (90 persen) di antaranya merupakan rumah sederhana bersubsidi.
"Dengan menurunnya daya beli, masyarakat berpenghasilan rendah semakin sulit menjangkau harga rumah," ujar Eddy.

Sebelumnya, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz memastikan akan menaikkan harga patokan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, menyusul kenaikan harga BBM. Kebijakan menaikkan harga rumah itu dinilai mendorong pengembang tetap memasok rumah bersubsidi.

Saat ini, harga maksimum rumah tapak bersubsidi dipatok pemerintah Rp 88 juta-Rp 145 juta, menurut zonasi. Subsidi rumah tapak ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 3,5 juta per bulan.
Secara terpisah, Bank Indonesia meyakini kenaikan harga Premium dan solar tidak akan memengaruhi harga properti. Pasalnya, sumbangan inflasi terhadap harga properti masih kecil.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menegaskan hal itu, menjawab pertanyaan wartawan di Bandung "Sumbangan inflasi terhadap properti masih aman," katanya. (LKT/IDR)

Sumber: Kompas

Leave Your Comments But [No Spam]

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments